Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Opini’ Category

Apa kabar Munir? Damaikah kau di ‘sana’? Benarkah ada yang meracunimu di pesawat Garuda itu? Bagaimana keterlibatan intelijen negara di kasusmu? Suara lantangmu yang mana yang harus dibungkam untuk selamanya? Siapakah yang sakit hati karena sepak terjangmu? Adakah jejak yang bisa kami telusuri?

Apa kabar Antasari Azhar? Lama tak kudengar kabar kasusmu. Aku hanya ingin tahu, apakah betul kejatuhan karir cemerlangmu cuma lantaran godaan seorang caddy? Nyamankah kau di selmu? Adakah pat gulipat di peradilanmu? Apakah betul kasusmu melibatkan penguasa negeri ini?

Apa kabar lumpur Lapindo Sidoarjo? Siapakah lagi yang mendengarkan jerit tangis masyarakat yang kehilangan segalanya di sana? Adakah yang memberikan solusi menahan semburan lumpur selain hanya dengan mempertinggi tanggul? Akan runtuhkan wilayah Porong sekian tahun ke depan?

Apa kabar pajak KPC dan Arutmin? Besarnya gelontoran uang bagi para tikus pajak itu mencengangkan kami. Mengapa pada mereka kalian membayar sementara kepada Indonesia yang kalian kuras kekayaannya tidak? Benarkah pak ketua parpol yang orang terkaya negeri ini ‘bermain’ di dalamnya? Siapa yang akan berani mengusik sang raja berkuasa?

Apa kabar Century? Sudah sampai dimana kasus hukummu bergerak? Para rampok lintah darat pemakan uang nasabah itu dimana sekarang? Para politisi sadar kamera itu kenapa kembali diam? Apa perlu para nasabah berdemo atau bunuh diri lagi? Kapan uang negara milik rakyat akan dikembalikan?

Apa kabar Artalita? Masih nyamankah ‘penjaramu’ sekarang? Andai semua penjara seperti punyamu dulu itu, tak ‘kan menolak kami tinggal di dalamnya! Sungguh hebat ya, kekuatan uangmu? Semua bisa kau beli. Sementara terpidana yang sama-sama bersalah tapi tak memiliki kuasa sepertimu, benar-benar merasakan derita bak neraka dunia di sana. Adakah kau tahu itu? Atau biarkan saja berlalu, seperti berlalunya hamba hukum belian yang tersenyum setelah menjemput amplop-amplopmu.

Apa kabar Gayus? Wah… wah… wah… hebat kali lah kau ini! Kau masih muda tapi teramat amat sangat kaya sekali! Uang siapakah itu semua? Bagaimana kau bisa menyimpannya? Darimana kau belajar ilmu mendatangkan banjir uang dan kekayaan begitu? Sudahkah kau ‘bernyanyi’ lantang di hadapan penegak hukum? Bagaimana akhir ceritamu ini kelak?

Apa kabar Bibit-Candra? Apa kabar KPK? Apa kabar sepak(tinju)bola nasional? Apa kabar merosotnya prestasi bulutangkis? Apa kabar banjir Jakarta? Apa kabar kemiskinan bangsa? Apa kabar Susno Duadji? Apa kabar komersialisasi pendidikan? Apa kabar kelestarian budaya bangsa? Apa kabar? Apa kabar? Apa kabar?

Kemanakah itu semua?

Hilang lenyap dilindas habis oleh pemberitaan masif mengenai video mesum artis!

Sungguh aneh. Bangsa yang doyan ketelanjangan. Bangsa yang senang menggosip. Bangsa yang menghabiskan energinya pada hal yang remeh. Bangsa yang tidak memiliki malu. Bangsa yang suka esek-esek. Bangsa yang rusak moral dan mental.

Bangsa yang pelupa!

Read Full Post »

Tulisan Kacau Balau

Pasti pernah melihat tulisan anak-anak ABG (anak baru gede) seperti ini:

AkU 1n6in k3T3Mu d14 t4p1 m4lu 5o4lny4 D14 kEr3n 5ek4l1…

atau yang seperti ini:

bs ngG’ y ak MnGHAdPi smu msLh in dngN tnng? Oh, SnGgh-sUngGH Gj..!

atau yang begini:

bu guru d4tan6 t3lat, k3l45 r4me, Uw1 bik1n 6amb4r r0bot, D1d1n6 ny0l3k1n 5int4, 4ku m0 ngap4in ya? bin6ung ah..

Ugh… betapa kacau balaunya gaya bahasa anak muda kita! Ada yang huruf besar kecilnya tidak tahu aturan, ada huruf dan angka yang dicampur tidak karuan, juga ada kata-kata yang dibuat singkat biar pendek-pendek (gaya menulis pesan pendek di handphone). Terus terang, bagi saya itu susah untuk dibaca dan sulit untuk dimengerti. Kening saya sering berkerut berusaha mengartikannya. Tulisan-tulisan ABG itu justru membingungkan dan membuat mata saya sepet. Lebih terus terang lagi, saya tidak suka gaya menulis yang merusak bahasa Indonesia seperti itu!

Saya yakin bukan saya saja yang tidak suka. Ada seorang rekan sejawat saya bahkan sampai ‘mengancam’ di dinding status Facebook-nya akan menghapus semua status yang ditulis dengan gaya tulisan seperti itu dan memutuskan pertemanan! Saya juga pernah membaca keprihatinan seorang guru bahasa mengenai hal ini. Atau himbauan seorang teman yang lain untuk menolak menggunakan cara menulis seperti itu. Dan tentunya masih banyak yang lainnya.

Dapatkah kita melakukan sesuatu?

Bukan saya menolak kreativitas kaum muda, tapi jangan yang merusak bahasa dan budaya dong!

Read Full Post »

Tidak ingin berpanjang-panjang, tapi rasanya memang berlebihan DPR minta dana 5 milyar rupiah hanya untuk ‘ngobrol-ngobrol’ dan memberikan rekomendasi atas kasus dana talangan almarhum Bank Century. Saya meragukan kemampuan dan hasil kerja dari panitia hak angket DPR ini.

Merujuk ke pelaksanaan, tidak banyak yang akan bisa dilakukan oleh 30 anggota panitia hak angket itu. Mereka kebanyakan tidak memiliki kemampuan menyelidik. Pada akhirnya nanti, tugas itu akan diserahkan kepada KPK atau Kepolisian. Demikian juga pada kualitas hasil tela’ah, dimana akan tergantung pada tim ahli independen yang mereka bentuk (dan bayar). Jadi panitia hak angket ini tidak akan lebih dari sekedar pengumpul data saja.

Panitia hak angket juga dibatasi waktu 60 hari untuk mengungkap masalah. Seperti biasa, waktu mereka akan habis berdebat hal-hal yang tidak menyentuh ke substansi persoalan. Terlepas apakah ada hak untuk meminta perpanjangan waktu kepanitiaan ini atau tidak (saya tidak tahu), kemungkinan besar panitia hak angket akan mengajukannya. Semakin lama mereka berpolemik, semakin kabur inti persoalan kasus ini kelak. Semakin sering dan lama mereka rapat, semakin banyak daftar hadir yang harus mereka tanda tangani. Anda tahu sendiri ‘kan apa arti sebuah tanda tangan di sana?

Jadi kemana dana 5M itu akan mengalir? Ya itu tadi, untuk membiayai (dengan sangat mahal) mereka ngobrol-ngobrol membicarakan hal yang seharusnya dibicarakan atau dikerjakan orang lain. Supaya punya hasil kerja, mereka akan membayar orang lain (staff administrasi, tenaga ahli, konsultan, sekretaris, dsb). Padahal di sisi lain mereka juga telah digaji secara tetap untuk itu. Soal hasil kerjanya, seperti biasa, tidak usah diharapkan, akan kabur dan tidak jelas hendak dijadikan apa.

Kembali, buang-buang uang rakyat saja! Daripada begitu, lebih baik uangnya dipakai untuk mengembalikan uang nasabah-nasabah kecil. Paling tidak itu akan mengurangi jumlah mereka yang berdemo menuntut haknya dikembalikan.

Read Full Post »

Tuanku

Telah kami angkat Tuan sebagai pemimpin kami, menjadi Tuanku yang digugu. Kami ingin Tuanku pantas kami tiru. Kami ingin Tuanku teguh dan kuat. Kami ingin Tuanku tegar dan berani. Dalam apapun yang Tuanku pikirkan, lakukan, dan katakan.

Hari-hari ini kami lihat Tuanku seperti pemain sandiwara. Tuanku mengeluh. Tuanku bersedih. Tuanku mengadu. Tuanku banyak bicara. Tuanku membuat kami cemas.

Kami tidak ingin Tuanku begitu. Janganlah membuat seolah Tuanku terpojok. Seolah tengah dirongrong sesuatu. Yang entah ada atau benar. Padahal ada kami di sini mendukung Tuanku. Dan kami tidak melihat apa-apa. Seperti yang Tuanku lihat di atas sana. Tinggi sendiri bak elang yang tak pernah berkelompok mungkin memang sepi. Tapi itu bukanlah alasan untuk membuat kami khawatir.

Jangan sampai kami berpikir, Tuanku hanya mencari-cari alasan atau justru sedang menakut-nakuti kami.

Kami tak butuh penjelasan lebih, buatlah diri Tuan menjadi Tuanku yang sesungguhnya bagi kami. Kami adalah bagian dari sejarah yang sedang Tuanku tulis, maka itu hargai juga hormat kami. Seperti yang pernah kami berikan kepada pendahulu-pendahulu Tuanku yang pemberani.

Kalau tidak, maafkan kami menganggap Tuanku cengeng dan tak pantas lagi kami Pertuan.

Read Full Post »

Titah

Sebuah titah adalah bukti kecerahan jiwa baginda di atas mendung pemikiran rakyatnya. Jika baginda telah bertitah, kecamuk pikiran rakyat akan tersapu bersih dan mereka bergerak sesuai titah. Jika baginda telah bertitah, gejolak emosi rakyat redam dan mereka mengangguk patuh. Jika baginda telah bertitah, rakyat akan mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan titah. Begitu indahnya pesona titah, maka banyak jelata yang bermimpi bisa bertitah.

Sebuah titah adalah bukti penguasaan baginda atas jiwa raga rakyatnya. Ketika baginda bertitah, rakyat diam mendengarkan tanpa kata. Ketika baginda bertitah, rakyat patuh tanpa banyak tanya. Ketika baginda bertitah, rakyat rela berkorban apa saja. Ketika baginda bertitah, punggawa bekerja memastikan titah dilaksanakan. Begitu kuatnya pikat kekuasaan, maka banyak jelata ingin menjelma baginda.

Sebuah titah adalah bukti kemuktian sang baginda di atas segala. Di hadapan titah baginda, tiada adi yang lebih digdaya. Di hadapan titah baginda, semua jawara menjura. Di hadapan titah baginda, hilang sudah kuasa dan perwira. Di hadapan titah baginda, cambuk dan penjara bagi yang jumawa. Begitu perkasa titah baginda, maka banyak jelata sedia bertapa bak baginda.

Maka ketika kemudian titah baginda menjadi samar untuk dimengerti apalagi dilaksanakan sedaya upaya, kemana jelata hendak berkaca? Apakah jelata harus berganti baginda dan mencari baginda baru yang sanggup memberikan titah yang bermakna? Kemanakah jelata akan menemukan baginda yang seperti itu? Berapa purnama lagi diperlukan untuk mendudukkan baginda baru di kursinya? Sekarang paman Patih tergagap tak tahu hendak apa. Punakawan bingung tersebar terpencar. Punggawa berlarian mencari perwira. Jelata, mereka merana melata-lata. Sementara para raksasa bersiap mengancam dari balik jendela!

Titahmu Baginda, janganlah abu-abu…!

Read Full Post »

Saya tak tahu dengan orang lain, tapi bagi saya pemandangan seperti ini terasa mengganggu. Bukan tidak menghormati orang-orang terhormat calon wakil rakyat yang memajang gambarnya di sana, karena tak ada maksud untuk itu. Hanya saja bagi saya, jejeran gambar itu tidak indah. Sungguh tidak indah.

pamflet-caleg

Tak adakah cara berkampanye yang lebih baik dari sistem tradisional ini? Saya kok tiba-tiba membandingkan ini dengan cara kampanye kuno ala Romawi beribu tahun lalu ya? Ah, lupakan saja…

Tidak indah ya tetap tidak indah bagi saya, titik!

Note:  Gambar diambil saat melewati simpang Panbil Muka Kuning, Batam.

Read Full Post »

Panggilan Illahi

panggilan1

Sungguh benar ajakan menonaktifkan telepon genggam di masjid ini. Tulisannya bukan sebuah larangan untuk mengunakan atau saran untuk mematikan nada panggil seperti biasa kita jumpai di masjid-masjid lain. Yang ini sangat menyentuh bagi saya.

Sungguh benar, tiada panggilan yang lebih penting dari panggilan Allah! Bukan deringan telepon atau tanda pesan masuk yang harus didengar/mendapatkan perhatian kita di kala shalat dan beribadah. Sekecil apapun suara yang timbul atau getaran yang dihasilkan, jelas itu akan memecah konsentrasi ibadah dan kekhusu’an shalat kita.

Jadi, mari matikan handphone Anda di dalam masjid. Sepenting apapun Anda dan urusan di luar sana, panggilan Allah adalah yang paling utama.

Photo diambil di Masjid Jamek Ungku Tun Aminah di Johor Bahru.

Read Full Post »

08-08-08 @ 08:08

Ah, hanya sebuah angka saja. Yang kebetulan sama, jatuh pada hari ini.

Jam delapan lebih delapan menit pada hari ke delapan di bulan ke delapan pada tahun dua ribu delapan.

Ingin mengartikan lebih? Sebaiknya jangan, karena tak ada manfaatnya.

Ini pun masuk sebagai catatan di sini sebagai pengingat bahwa waktu tak pernah mati. Keniscayaan yang berbanding terbalik dengan pastinya hidup manusia yang berujung pada mati. Dan setiap kumpulan waktu, entah itu angka yang istimewa atau tidak, adalah kendaraan yang melaju ke satu titik: liang kubur.

Siap?

Read Full Post »

Membentak Polisi

Di negeri ini, aku sudah melihat bahwa warga bangsaku dipandang sebelah mata. Disebut dengan panggilan menghina ‘orang Indon’, disetarakan dengan warga dari negara Bangladesh, (yang dipanggil Bangla), warga kelas rendahan, kaum budak pekerja, gerombolan kriminal atau orang bodoh tak berbudaya. Entah kesalahannya bermula dari apa, bila dan bagaimana, tapi ia sudah berurat berakar sejak lama. Karena itu sering muncul perlakuan diskriminatif terhadap warga negara kita, bahkan untuk persoalan yang sebenarnya sederhana. Kuakui memang tak semua mereka memandang seperti itu, tapi tetap saja ini menjadi sesuatu yang mengganjal dan perlu dirubah.

Aku juga sudah belajar bahwa satu cara menghadapinya adalah dengan menunjukkan bahwa orang Indonesia itu pintar, bisa menduduki posisi/jabatan tinggi, berperilaku baik dan berpenghasilan tinggi. Maaf, penghasilan tinggi juga disebut sebagai tolak ukur bagi mereka dalam menilai karena memang karakteristik melayu yang cenderung malas, ingin yang mudah, tapi berhasil banyak ini cukup menonjol kulihat. Jika salah satu dari empat hal itu dimiliki, maka mereka menjadi lebih hormat dan bersahabat. Apalagi jika memiliki lebih.

Pintar di sini antara lain penguasaan bahasa asing, terutama Inggris. Orang sini banyak yang bisa berbahasa Inggris (karena bersekolah di luar negeri seperti Inggris, Japan, atau Australia), tapi jauh lebih banyak lagi yang tidak bisa. Dan seperti kebanyakan melayu, mereka menjadi minder bahkan ciut di hadapan orang yang bisa. Jadi bercas-cis-cus-lah di hadapan orang melayu sini, maka kita akan berada di ‘atas angin’.

Beberapa pengalamanku membuktikan hal itu. Menghadapi persoalan di pintu imigrasi Malaysia kuselesaikan dengan berbicara dalam bahasa Inggris dengan petugasnya yang tergagap-gagap melayani. Pencarian dan negosiasi harga sewa rumah menjadi lebih mudah dengan agen/pemilik rumah dimana penggunaan bahasa Inggris membuat posisi tawarku lebih baik. Bertanya-tanya kepada orang-orang di jalan membuat kita lebih dianggap bahkan dibantu. Dan masih banyak contoh-contoh peristiwa lainnya yang kualami.

Tapi satu yang mungkin paling lucu adalah peristiwa hari Minggu kemarin. Aku dan keluarga menumpang bus kota Gelang Patah ~ Terminal Larkin, naik di terminal Gelang Patah. Ketika bus berhenti di halte depan dealer Honda, seorang gadis calon penumpang (satu dari beberapa orang yang baru menaiki bus) mengaku kehilangan dompetnya dan tak bisa membayar ongkos bus. Oleh si sopir ia ditanyai macam-macam, ia naik turun bus mencari-cari, sopir bolak-balik ke bagian dalam bus melihat-lihat, sehingga bus lama tak bergerak dari halte tersebut. Tak sabar menunggu, aku meminta agar si sopir tidak melayani dan menjalankan tugasnya mengemudikan bus. Kulihat mereka masih berbicara beberapa waktu sampai kemudian bus berjalan kembali.

Sampai di Lima Kedai (4 km dari Gelang Patah), sopir membawa bus ke kantor polisi! Tentu saja para penumpang menjadi bertanya-tanya, ada apa lagi? Ternyata si sopir yang ‘baik hati’ itu mengantar si gadis melaporkan peristiwa kehilangan dompet tadi ke kantor polisi terdekat. Bukannya sekedar mengantarkan sampai di situ saja, ia kemudian membiarkan polisi menyelesaikan persoalan itu di atas bus! Padahal kami para penumpang sudah mulai resah karena terhambat perjalanannya. Si bapak Polisi bertanya-tanya sebentar pada si gadis, sopir, dan pada seorang penumpang laki-laki yang sedari tadi mengobrol dengan sopir di depan. Kemudian dengan lantangnya si pak polisi berkumis tebal tadi mengumumkan bahwa ia akan memeriksa seluruh penumpang dan barang bawaan jika tidak ada yang mengembalikan atau mengakui mengambil dompet si gadis tersebut. Dan jika ia menemukan pelakunya, maka akan langsung dimasukkan ke dalam sel tahanan.

What the hell… pikirku. Untuk apa polisi memeriksa para penumpang yang jelas-jelas tak bersalah itu? Bukankah si gadis itu sudah kehilangan dompetnya sebelum menaiki bus? Kenapa ia tidak bertanya terlebih dahulu bagaimana kronologis peristiwa kehilangan itu? Kenapa mencurigai penumpang yang lain? Untuk apa membuang-buang waktu memeriksa begitu banyak penumpang dan barang? Berapa lama waktu akan terbuang hanya untuk mencari dompet yang jelas-jelas tidak berada di atas bus tersebut?

Ya sudah, naik pitamlah aku dengan cerdasnya. Mewakili para penumpang lain, aku memprotes tindakannya itu. “Hello Sir! Why don’t you ask the girl how she lost her wallet? Do you know when she lost it? Ask her when she realize the wallet was not with her anymore? How could you suspect that one of these passengers is the thief? It doesn’t make sense to me that you are going to search here while you alone are still not clear with the situation! That girl lost her wallet before she step into the bus! Do you realize it? Hey hello…. don’t waste these peoples time for such of silly investigastion! I’ll tell you now what to do, OK? You bring the girl out of this bus, ask her questions, do your investigastion or whatever you want to do. While you’ll doing that, this bus can continue the trip peacefully. OK? Do you get my points? Bring her down… bring her down!”

Si polisi berkumis tebal langsung ciut. Ia memandangku bingung. Rentetan kalimatku yang bernada sengit dan dalam bahasa yang tak dimengertinya ternyata menghilangkan rasa percaya dirinya yang tadi begitu gagah di hadapan puluhan penumpang bus. Ia, sopir dan kawan si sopir kemudian berbisik-bisik bertiga. Mama Ani sempat mendengar si polisi bertanya “Dia cakap apa tadi?” kepada kawan si sopir sambil melirikku. Sebentar kemudian si polisi menanya-nanyai si gadis lagi dan itu memancingku untuk memprotes kembali.

Hello… can you question her in your office? Don’t do it here! We need to go. You waste people’s time, you know? Go down… go down…!” sambil tanganku mengusir-usir mereka turun dari bus. Si polisi memandangku, masih dengan ekspresi tak mengerti tadi, dan akhirnya menyerah. Ia ajak si gadis turun dan berbicara pada sopir untuk meninggalkan ia di situ. Begitulah kemudian bus akhirnya bisa berjalan kembali.

Ternyata hanya dengan beberapa patah kalimat berbahasa Inggris ngawur saja, orang sini langsung minder dan ‘berkerut’. Berhadapan dengan orang berbahasa asing membuat seorang polisi garang pun kehilangan nyali, meski kami sama-sama berwajah melayunya! Hahahaha… dan ah kapan lagi punya kesempatan membentak polisi sini! 😉

Jadi agar tidak dipandang sebelah mata di tanah seberang ini, berbicaralah dengan bahasa Inggris untuk menunjukkan siapa dan bagaimana kualitas Anda. Itu salah satu kuncinya agar Anda lebih dihormati!

Read Full Post »

Halah! Budaya apa yang dibawa infotainment itu ke dalam rumah kita? Menyuruh orang berzina terang-terangan atas nama hari kasih sayang (prek, cuih!)? Mengindoktrinasi masyarakat dengan kebiasaan yang tabu? Membiasakan hal yang seharusnya terdengar di ranah personal menjadi konsumsi publik?

Pulang kerja malam udah kesiangan, aku sedang mengambil handuk hendak mandi saat telinga mendengar kata-kata pembawa acara infotainment (tak usah disebut nama dan acaranya, no point!) yang terasa sangat keterlaluan untukku. Dengan lantang dan suara ditegas-tegaskan, ia mengatakan, “Pemirsa, apa saja yang dilakukan para selebrita kita dalam menunjukkan kasih sayang kepada pasangannya? Bagaimana mereka menyikapi bentuk ungkapan kasih sayang yang diberikan kepada mereka dari pasangannya masing-masing? Apakah hari raya kasih sayang ini akan menjadi momentum… bla-bla-bla

Sungguh keterlaluan! Itu pembawa acara atau si script writer punya otak ngga’ untuk membawakan atau menuliskan kata-kata itu? Siapa dia berani-beraninya menasbihkan 14 Februari sebagai hari raya? Sejak kapan orang merayakannya? Siapa yang merayakan? Apa yang harus dirayakan?

Aku misuh-misuh. Mama Ani bilang semua infotainment sibuk menayangkan berita dengan topik yang sama: perayaan hari kasih sayang. Sudah sejak beberapa hari yang lalu dan mungkin sampai beberapa hari ke depan, acara infotainment terus membahas apa dan bagaimana para selebrita menghadapi hari yang katanya untuk menunjukkan kasih sayang itu! Apa tidak pekak telinga dengan serbuan berita-berita itu? Apa tidak membanjiri pikiran dan membentuk kesan jika itu terus menerus disampaikan? Apa tidak akan menjadikan sesuatu yang tabu menjadi hal yang biasa-biasa saja? Penciptaan budaya zina di tengah masyarakat!

Damn! Semakin benci dengan acara TV Indonesia. Tak ada yang bermutu, sampah, sampah, dan sampah!

Read Full Post »

Older Posts »